Rabu, 20 Desember 2017

Bedah Cerpen Hujan Kakeane Karya Agus Surawan di Kopdar Penulis Ambarawa

Bedah Cerpen Hujan Kakeane Karya Agus Surawan 
di Kopdar Penulis Ambarawa

Dear, Sobat semua…

Kopi darat Komunitas Penulis Ambarawa akhirnya bisa terlaksana. Ahad, 17 Desember 2017, kopdar membahas cerpen Mas Agus Surawan, ketua Penarawa. Yang judulnya mungkin bikin sebagian orang mikir. Hujan Kakeane!




Sebetulnya sedikit ragu waktu mau berangkat kopdar. Mendung sudah menggelayut di desaku, Sumowono. Sudah kayak berkejaran dengan hujan, nih. Mau nggak datang, nanggung sudah siap-siap. Mau datang, duh kayaknya bakalan hujan deras. Pilihanku sih simple saja. Datang, dengan resiko kehujanan. Nyeyup (berteduh) dan bisa nongkrong di emperan jalan lihat hujan tumpah ruah ke bumi ^tsahhh.

Jadwal acara pukul 10.00 WIB, di Gedung Kesenian Ambarawa. Gedung keren nan unik yang dipakai banyak komunitas untuk berkarya. Agak molor juga sampai sana. Yang ada baru Mas Agus sama Arnold. Untunglah beberapa teman kemudian datang, satu persatu.

Ngumpul sekitar 14 orang. Tak hanya anggota lama, ada banyak teman baru yang datang. Ada yang dari Magelang loh, Banyubiru, juga Karangjati. Bu Yanti hanya datang tak lebih dari 3 menit, uhuks. Teman Teater 1000 Wajah Ambarawa juga ada. Wah seru, nih.

Setengah jam kemudian acara dimulai. Dibuka oleh Mas Agus dengan dimoderatori Mas Rifan Fajrin. Kemudian masing-masing sibuk membaca cerpen karangan Mas Agus. 

Serius membaca cerpen Mas Agus Surawan, Hujan Kakeane

 Cerpen yang menceritakan tentang hujan ini memang lain dari yang lain. Bercerita tentang lelaki, motor lanang-nya dan hujan. Kemudian berteduh di sebuah warung mi ayam. Berjumpa dengan banyak orang dengan banyak karakter. Saat berkendara kembali, hujan luruh lagi ke bumi. Teriaklah si tokoh ini. Dengan sedikit emosi yang menggunung. Karena hujan, cinta atau curhat penulisnya? Eaaa… entahlah.

Oh ya, cerpen ini sebetulnya nggak selesai, loh. Gegara gempa yang terjadi Sabtu malam, Mas Agus terbangun. Karena kangen seseorang atau nggak bisa tidur akhirnya dia membuka lepi dan mulailah melanjutkan cerpennya yang sempat terpenggal ini. Jadilah. Kalau nggak ada gempa, jadi nggak, ya? ^mikir hihihi.

Mas Rifan serius banget

Mbak Winda mencerna cerpen dengan konflik yang tak begitu jelas. Mas Wahyu dengan majas, ejaan juga berbagai istilah rumit yang sangat detil. Mas Rifan sendiri kritikannya tajam banget terutama untuk kalimat langsung yang tanpa tanda petik ^plak!

Begitu juga Pak Joko, Mas Azhar, Pak Artoyo dan Mas Daniel yang melihat cerpen dari sisi teaternya. Menurut Mas Daniel cerpen Hujan Kakeane ini malah penuh dengan konflik. Dari awal hingga akhir. Di paragraf pertama sudah jelas disebutkan kisah dari cerpen ini. Seharusnya tak ada pertanyakan lagi. Ada Bahasa Jawa yang menurutnya yang paham hanya orang Jawa saja, bisa jadi orang luar nggak tahu. Harus ada keterangan untuk memperjelasnya.

Mbak Arinda yang nggak datang juga sempat mengulas cerpen ini di WA. Menurutnya cerpen Mas Agus sejenis FTS (Flash True Story) atau FF (Flasf Fiction). Disebut  cerpen kurang panjang. Btw bahasanya sudah oke punya. Karakter tokoh yang tanpa nama juga  jelas banget, emosian. Untuk setting mungkin bisa lebih detil lagi. Bisa saja mengeksplor lokalitas Banyubiru dan sekitarnya.

Buatku sendiri cerpen ini sungguh unik. Nggak membosankan dan kubaca tuntas sampai akhir. Bahkan membacanya beberapa kali loh. Dari awal membaca agak bingung juga, sih. Di otakku sudah terpatri membaca cerpen..Pas membacanya, antara artikel, cerpen atau esai, ya?

Tapi nggak masalah, aku bisa asik terus lanjut sampai akhir. Nulis kalau kebanyakan kotak yang mengukung di otak malah susah. Apalagi harus gini gitu banyak larangan atau aturan malah bikin mules perut, pusing, dan nggak jadi nulis. Jadi bebaslah berkreasi. Aku malah terpikir kalau cerpen ini sinopsis sebuah iklan motor. Kayaknya dengan sedikit dialog dan karakter kuat hasilnya keren maksimal.

Ada beberapa kesimpulan versi Mas Agus yang diposting di FB, dan tambahan dariku:
1.    Deskripsi musti lebih detil.
2.    Setting tempat ambil yang paling kita pahami.
3.    Suasana, gerak tubuh, tatapan mata, ekspresi orang harus lebih menyentuh perasaan. Tapi tetap proporsional.
4.    Ada konflik yang tajam.
5.    Penulis harus berjarak dengan karyanya. Jangan tulis semua, sisakan sebagian. Ini membuat penasaran.
6.    Beri adegan dramatik dalam tulisanmu.
7.    Dialog yang asik dan menggemaskan. Bikin pembaca terpaku, terpana bahkan sampai hapal, hehehe.

Yap, hari sudah makin siang. Suara keriuhan di depan Gedung Kesenian, yaitu Gedung Pemuda karena ada sunatan massal bikin suasana makin seru saja. Masih ada ngobrol santai setelah itu. Lalu, apalagi kalau bukan foto bersama? Hihihi. Selain bedah cerpen, bagiku sendiri acara kopdar seperti ini jadi ajang silaturahmi. Me time juga secara emak rempong butuh piknik ups.  

Ngumpul dulu :)

 Sebagai pengingat juga, menulis itu urusan hati dan urusan memotong kemalasan saja. Kalau hatinya berkenan ya menulislah. Apapun bisa ditulis. Nggak hanya cerpen. Kisah, perjalanan, langkah, cinta, Tuhan, peradapan, emosi, bahkan daun yang jatuh dari dahan bisa jadi kisah romantis.

Aturan iya jelas dipertimbangkan, namun aturan tak boleh membuat kita jadi takut untuk menulis. Keluarkan apa yang ada tapi tetap dengan jarak dan tidak sepenuhnya. Simpan beberapa persen untuk tulisan berikutnya. Biar nggak jenuh, nggak males, nggak kebanyakan alasan dan merdeka ^hallah! Itu yang bikin orang penasaran. Semangat literasi, semangat menulis…
Gimana, sudah nulis apa hari ini?

Baca juga:

3 komentar:

  1. Banyak hal yang telah dibicarakan pada diskusi kemarin. Bagi saya masih tetap sama, cerpen ini perlu untuk dipertajam lagi dari segi pemaparan konfliknya. Suasana juga harus dibangun di dalam tubuh cerpen tersebut. Sehingga cerpen ini menjadi lebih keren lagi.

    Salam

    BalasHapus
  2. Nulis komentar bang. hehehe. Saya mencoba nulis blog rutin tp kdg suka malas... hiks

    BalasHapus
  3. Kopdar sambil bedah cerpen asyiknya, pasti banyak sisi positifnya

    BalasHapus