Minggu, 25 April 2021

Sepotong Piza di Ramadan ke-20

 Sepotong Piza di Ramadan ke-20

 

Masih pada ingat bukber enggak, Guys? Buka bersama bareng teman sekalian kopi darat apabila lama tak jumpa. Sebelum pandemi, ada banyak acara bukber yang sudah terjadwal di notes. Saking banyaknya undangan, sampai bingung mana yang harus didatangi.



Setiap Ramadan, acara buka bersama selalu menciptakan sebuah cerita. Kebanyakan kenangan indah dan menyenangkan. Namun, ada pula kenangan yang kurang menyenangkan dan bikin ketawa miring ketika kenangan itu hadir lagi di bulan Ramadan. Duh, aku jadi ingat kejadian saat Ramadan yang mengenaskan, bikin nangis sekaligus ngakak pojok kamar, hahaha.

Zaman masih indekos, undangan buka bersama adalah rezeki yang tak bakal ditolak. Tahu sendiri, kan, betapa anak yang  indekos membutuhkan asupan gizi seimbang?

Nah, suatu hari, akutu diajak teman dekat untuk berbuka bersama. Dia bilang hanya berdua, enggak ada embel-embel mengundang yang lain. Spesial kali, ya?

Sebetulnya, karena sudah berteman dekat serta sering makan, jajan, menonton pameran bareng, enggak aneh kalau dia mengajak aku berbuka bersama. Namun, karena mengajaknya serius, jadi terasa agak aneh. Kuiyakan saja ajakannya yang melipir itu.

Kami keluar setelah Asar. Karena waktu berbuka masih lama, kami berjalan-jalan dulu sambil ngabuburit. Tak lama berjalan, sampailah di tempat makan pilihannya yaitu restoran pisa. Sebetulnya, aku mau protes karena ingin makan makanan lokal saja. Namun, aku ikut saja daripada berdebat.

“Penuh,” bisikku begitu lihat tempat parkirnya penuh.

“Iya,” jawabnya dengan santai. Dia tetap turun dari motor, melepas helmnya kemudian membantu melepas helmku.

“Pindah angkringan depan kehutanan aja, yuk,” ajakku.

Angkringan itu menjadi idola anak-anak kampusku di saat Ramadan gini. Makanannya murah meriah dan enak.

“Sini aja, sih, sesekali. Kamu kan enggak pernah mau kuajak makan sini,” jawabnya sambil narik tanganku.

Aku cuma bisa sedikit melotot sambil mengikuti langkahnya.

Setelah berada di dalam restoran, memesan menu dan lain-lain, kami asyik mengobrol di pojokan. Menjelang azan Magrib tempat ini makin ramai. Pesanan juga belum tiba hingga saat berbuka tiba.

“Sorry, ya, lama,” katanya galau sendiri.

Aku manggut-manggut sambil mengetukkan jari di meja, sebal. Coba tadi ke angkringan, pasti kami sudah berbuka dengan suka cita.

“Mau pindah atau enggak?” tanyaku sambil memberi permen untuk membatalkan puasa.

“Entar, deh, nanggung,” jawabnya masih santai.

Pesanan baru tiba jam tujuh malam. Mood-ku sudah terjun dari puncak Merapi. Bayangkan! Salatnya jadi telat juga, kan? Ujungnya, kami makan dalam diam. Nahan kesal akutu ….

Keluar dari restoran dan di tempat parkir aku masih membisu.

“Mau nonton?” tanyanya.

Kugelengkan kepala segera.

“Ke toko buku?”

Aku biasanya bakal berjingkrak kalau diajak ke sana, tapi ini tetap geleng kepala.

“Ada pameran buku di Gedung Pusat, mau lihat?”

Tetap diam, malas.

“Muter-muter?”

Masih diam.

“Pingin kemana?” tanyanya sambil bersiap dan menyuruhku naik ke atas motor. Aku naik ke atas motor tanpa menjawab pertanyaannya. Kepalanya menoleh ke belakang, lalu membuka kaca helmnya.

“Pingin kemana? Kuantar, deh. Jangan diem gitu, dong. Oke?” katanya sambil menepuk lututku perlahan.

“Pulang, deh. Aku males ke mana-mana,” sahutku kesal.

Temanku hanya mengangguk, lalu kami meluncur  balik ke tempatku indekos.

Itulah sepotong kisah Ramadan yang kualami 20 tahun yang lalu. Meskipun dia sudah berada jauh di manca negara, aku selalu teringat kisah ini setiap kali Ramadan datang. Ada rasa kangen dan doa-doa terbaik untuknya.

Bagaimana cerita Ramadanmu, Guys?

 

(Ed. Saheeda)

#ODOA
#KELASMENULISARTIKEL
#INDSCRIPTBUSINESSWOMANUNIVERSITY
Day-8
 

Baca juga:

Ini Dia Resesp Mendoan Krispi Bikin Nagih

Shinjumi Vita Milky Mango, Bikin Kulit cerah dan Sehat

7 Persiapan Menjelang Ramadan

0 komentar:

Posting Komentar