Kamis, 23 April 2020

Pertobatan Sugirah


Pertobatan Sugirah
Oleh: Wahyu Widyaningrum


“Besok lagi, Ira.” Suara berat lelaki itu membuat tubuh menggigil. Melewati rambut sebahuku yang sembarangan. Gegas, kuikat cepat helai-helai kusutnya dengan sesak bergemuruh memenuhi dada. Selalu begini. Setiap malam, neraka ini membakar.

Cerpen Pertobatan Sugirah, oleh: Wahyu Widyaningrum



“I… iya, Mas,” sahutku tergagap. Mengusap serpihan air mata yang entah kenapa keluar. Semoga Mas Jali tak melihatnya. Ia bakal marah melihatku menangis. Tak cantik, katanya. Perempuan mana yang cantik saat menangis?

Menautkan tali kutang kemudian baju yang rasanya membuat sesak. Kaos ketat hitam, jins biru belel dan tas kecil murahan. Jaket jins sebagai penutup kaos ketat. Sepatu berhak tinggi yang bakal tergelincir kalau tak biasa memakainya. Harganyapun tak seberapa. Desain kota yang kampungan.

Langkahku menuju wastafel. Cethak cethok suara sepatu membuatku harus berjingkat sambil melirik pria kekar itu di kasur. Guyuran air dingin membuat lega. Meskipun tak selega jiwa yang kusam bahkan hitam bagai jelaga. Lembar-lembar tisu membuat wajah kembali lembab. Kutatap cermin mungil di atas wastafel. Wajah ayu sang kembang desa.

Berpatut sebentar di depan cermin kecil telah membuat percaya diri tumbuh lagi. Kulihat Mas Jali tertidur walau tampak belum begitu pulas. Di kasur busa biasa kamar murahan. Kamar 3x3 meter, saksi bisu sejarah perjuangan hidup. Kemanutan perempuan desa pada sosok lelaki kekar sawo matang.

Ada cermin di pojok kamar, memanjang, biasa saja tanpa ukiran di pinggirannya. Kaki kuayun ke sana. Badanku memang tak begitu tinggi, hanya 160 cm. Dengan body nggak gemuk nggak kurus juga. Proporsional dengan tinggi tubuh. Rambut bercat coklat marun dengan keindahan yang jujur. Kata Arjuna, -lelaki pertama yang membuatku terdampar ke dunia penuh warna ini- aku cewek ayu sak jagad, tubuh indah bak pualam. 

Ah pualam kampung, sahutku waktu itu.

Bibir mungil penuh. Seksi kata bapak sebelum minggat. Gigi rapi dan mata kucing. Tampak menarik ketika melirik. Itu kata orang-orang yang suka melirik. Mereka datang pergi entah kemana.

Suara dengkur membuatku kaget beberapa saat. Huh, Mas Jali memang seperti itu, sampai hapal kebiasaannya. Setahun ini ia menjadi pelanggan tetap. Pundi-pundi tetap pemasukanku.

Sret, sret, bedak duapuluh ribuan kuusap ke wajah ayu. Menutup lebam di pipi, sedikit. Kuambil gincu dari tas hitam mungil murah meriah, menorehkannya ke bibir. Merah merona bagai delima matang. Ah, sudahlah. Mau monyong, mau sedih atau apalah namanya, tetap saja bibirku tampil seksi.  Rengkuhan para pecandu perempuan.

Kuambil 2 lembar rupiah warna biru di kasur. Dengan berjingkat, beranjak keluar kamar. Kulirik Mas Jali sambil menutup pintu. Akan kutinggalkan ia saat tertidur. Dan ia tetap nyaman dengan suaranya yang teratur. Seperti itu… 

Rasa mual menggelora sesaat. Apakah lelaki selalu seperti itu setelah menyesap nikmat sesaat?
-ww-

“Kapan aku dibelikan tas manik-manik, Bu?” suara mungil Ica membuat tertegun. Harganya memang tak seberapa, tapi hari gini buatku putar otak untuk mendapatkan uang.

“Ehm, minggu depan, ya. Uangnya buat bayar kost sama listrik dulu.”
“Janji ya, Bu,” kata Ica tersenyum senang. Janji-janji yang entah kapan bisa terealisasikan.
“Pasti sayang.” 

Kulanjutkan acara setrikaku sore itu. Ica ceriwis ngomong sama bonekanya saat pertanyaan lain kembali dicelotehkannya.

“Memang Om Jali itu siapanya Ibu?” 

Si kecil hasil buah cinta dengan Arjuna, 10 tahun yang lalu. Yang katanya hidup seperti ini akan mengangkatku dari kemiskinan  desa. Miskin yang menyesakkan dada serta nurani. Semalam Mas Jali memang menjemputku ke perempatan dekat kost. Dan Ica mengintipnya, aku tahu itu. Untunglah Mbok Jum, yang momong Ica sudah datang, aku bisa pergi kerja dengan tenang.

“Teman saja. Memangnya kenapa?” tanyaku mencoba sesantai mungkin menjawab pertanyaannya. Ica terlampau manis dan kecil memahami kerasnya hidup. Tanganku tetap sigap melanjutkan setrika kaos untuk nanti malam.

“Tadi Bunga marah. Katanya Ibu nggak boleh pergi sama Om Jali lagi,” sahut Ica polos. Aku terkesiap! Bunga?

Sepertinya Ica tak tahu aku kaget karena ucapannya. Ia tetap sibuk memainkan boneka lengkap dengan beragam baju itu yang kubelikan dengan penuh perjuangan seminggu yang lalu. Beli yang agak mahal sekalian. Walau karenanya aku musti menerima beberapa tawaran tak wajar dalam beberapa malam.

Kulipat kaos ketat warna biru itu dengan tangan gemetar. Segemetar jiwa dan raga.
“Ehm, Bunga teman sekelas Ica?” Pertanyaan tak butuh jawaban. Hanya ingin mengalihkan kegaduhan hati saja.

“Iya, Ibu kan kenal?” jawab Ica singkat.
Nafas terasa mencekik tenggorokan.
Mencabut colokan setrika. Beranjak masuk kamar supaya Ica tak bertanya lagi. 

Tempat kost berukuran tak lebih dari 3x8 meter itu hanya terdapat 2 ruangan. Ruang tamu dan kamar tidur. Kamar mandi sendiri menyatu dengan kamar tidur. Sisanya lagi menjadi tempat beragam. Dari ruang tamu sekaligus dapur dan tempat serbaguna lainnya. 

Kubuka loker mungil tempat baju. Sudah nggak karuan tapi masih bisa dipakai.
“Bu,” suara Ica mengagetkanku.
“Ya?”
“Ibu kenal, kan?”
Manggut-manggut kutatap wajah polosnya.
“Kenal.”
Ica selalu menanyakan tentang lelaki, kerja, uang dan ayahnya. Kali ini Bunga.
Ica duduk di kasur tanpa dipan. Kubelai rambutnya yang lebat seperti rambutku.

“Kenapa? Bunga nakal lagi tadi?” kutanya perlahan. Kemarin, Ica cerita kalau Bunga merebut buku PR-nya, mau dicontoh. Hari ini apalagi?

Ica menunduk. Memperlihatkan tangannya. Ada sedikit memar di sana. Kayak bekas cakaran. Emosi memuncak memenuhi ego sebagai perempuan. Perempuan sampah.

“Bunga lagi?” tanyaku perlahan.
Ica mengangguk pilu. Sepilu hati selegam jelaga ini.
“Kukunya panjang-panjang. Kalau nyakar sakit, Bu,”
Kepalaku mendidih.
-ww-

Lampu remang-remang itu tak membuat terasa cantik. Kutolak lengan kekarnya pelan, tapi tegas. 

“Kenapa, Ira?”
Rengkuhannya mendadak membuat mual. Wajahku didekatkanya ke mukanya yang membuat makin mual, dan muak! Tubuhnya merapat erat tubuhku.

“Kenapa?”
Diam dan hening.
“Ira, kenapa?”
Aroma alkohol tercium jelas. Kuserap dan kuhela nafas sepenuhnya. Inilah hidup!

“Sudah kubilang tolong jangan ganggu Ica dengan Bunga. Ica tak tahu apa-apa, Mas,” kutahan penuh emosi. Tapi tangannya makin erat mencengkeram wajah.
“Lepasin,” suaraku pelan, kuenyahkan tangan kekar  itu dari wajah.
“Sakit, Mas,” tertekan. Kucoba menolak. Marah, sangat marah! 

Tangannya perlahan ke bawah, punggung, pinggang… Jiwaku keropos, tangisan rasa yang kata orang Jawa embuh

“Hei, ingat, ya, kita sudah deal!” Seruannya membuat terpaku. Jiwa terpuruk. Deal, deal dan deal. Demi hidup?

Tangan kekarnya mulai menyudutkan. Dengan gayanya sendiri. Yang tak wajar. Kesakitan yang kutahan. Aku manut dan mawut. Benar kata orang, aku memang sampah!
-ww-

“Dasar wanita ja…!” suara beratnya sebelas duabelas dengan Mas Jali.
“Apa?” kukeluarkan keberanianku. Siapapun bisa melebihi singa kalau dilecehkan terus seperti ini. Geram bukan main. 

Tubuh perempuan setengah tua itu gempal, dengan sorot mata galak. Daster andalan dan bau prengus membuat semua orang tak tahan untuk menutup hidung. 

Seperti itu, mana ada lelaki yang betah bersamaya? Huh!

Ia mengumpat dengan kata-kata kotor. Kata-kata yang sangat jarang kukeluarkan dari  mulut walau hidup berlumur dosa. Ia meludahi tanpa ampun, seolah orang suci sak jagad. Tangannya mulai mencakar wajah dan menarik rambut, ganas beringas. Tetangga kost datang berkerumun. Ini wilayahku! 

Perempuan gempal itu berlalu marah. Gedebug kakinya membuat emosi makin di ujung tanduk. Lalu, tangisan histeris Ica menyadarkanku.
-ww-

            “Pergi, pergi….” Mimpi mengerikan tentang wanita gempal itu membuat luluh lantak persendianku. Edan! 

Kuhidupkan ponsel, yang kumatikan sejak sesudah maghrib tadi. Memutuskan libur malam ini dari gemerlap kota kecil di lereng Ungaran. Tak peduli dengan umpatan Mas Jali. Juga beberapa pelangan yang sudah menjadi langganan jeng jeng. Mbuh, aku kesil, saking kesel-le. 

Sederet pesan WA masuk juga dari bos, besok harus ada alasan untuk hal seperti ini. Uh… dan SMS!

“Mbak, iki Siti. Simbok sakit. Kasihan, Mbak pulang, ya. Eh Mas Arjuna kemarin datang cariin Mbak Sugirah. Sekarang aneh dia Mbak, beda. Ora koyo ndisik.”

Hah? Arjuna ke rumah reyotku di samping masjid? Mau apa dia? Setelah aku kabur dari ibukota bertahun-tahun yang lalu, tak kuketahui lagi kabarnya. Lalu aku terdampar di kota kecil ini, bersama bayi yang kulahirkan dibantu Mok Jum –yang tetap setia menemani walau dengan imbalan seadanya- 7 bulan sesudahnya. 

Atau, ia tahu aku yang maling dompetnya karena dia mabuk malam itu? Badan menggigil tak karuan. Dan ia menagih uang yang ada dalam dompetnya yang kupakai untuk minggat? Jangan-jangan…

Arjuna, pria tampan yang kukenal di jalanan. Membuatku terdampar di kehidupan seperti ini hasil rayuan mautnya. Hanya tergiur sesaat. Ingin mentas dari kehidupan ndeso yang sama sekali tak menarik bagi seorang kembang desa. Kata orang-orang, Sugirah ki sugih-he turah-turah. Yang sama dengan kaya berlebihan. Apalah arti sebuah nama?

Siti sepupuku, anak yatim piatu yang selama ini merawat ibu. Ibu sudah sepuh dan ditinggal minggat Bapak. Ibu yang hanya jualan sayur dari kebun untuk menyambung hidup. Yang kukirim beberapa rupiah tak tentu saban bulannya. 

Air mata mulai mengalir deras. Besok, besok aku harus pulang ke desa. Yang tak lebih dari 30 kilometer dari sini. Hidup kelam ini memang kusimpan rapat-rapat, tak ada yang tahu.
-ww-

Pagi itu, aku ingin memamitkan Ica di sekolah. Ingin kuajak mbalik ndeso. Sudah bulat keputusanku. 

Begitu riuh suara anak sekolah sedang istirahat. Kakiku belum sempat melangkah ke anak-anak tangga menuju halaman sekolah, ketika pintu sekolah yang tak tertutup rapat itu terbuka cepat. Ica berlari sambil menangis. Dan, Bunga! Bunga mengejarnya!

“Ca, Awas kalau ibumu….” Suaranya menggelegar, seperti si gempal ibunya.
Ica tak menggubris keberadaanku. Ia terus berlari ke jalan raya dan menyeberang tanpa melihat kiri kanan. 

“Ica!” Jalanan ramai membuatku teriak memanggil namanya.
Bunga tak mau kalah, kakinya terus mengejar dan menuju jalan…
Cittt, brak!
“Arghh…” 

Jeritan Bunga menghilang. Mataku memanas, langkah lunglai di persendian terakhir. Ica histeris di seberang jalan. Mobil hitam itu berhenti mendadak. Dua sosok manusia keluar dari dalam mobil penuh kepanikan. Lelaki kekar yang sangat kukenal dengan segala gaya aneh bercintanya dan perempuan bertubuh gempal. 

Orang-orang mulai berkerumun.
Ceceran darah membuatku limbung…
-ww-

Kematian itu rencana illahi. Uang dan kematian kadang beda tipis. Perjuangan bukan dengan cara menjadi sampah. Skenario hidup apa lagi yang harus kulakoni?

Suara ayat Al-Qur’an sungguh menyentuh dari tape di dekat mikrofon. Aku berzikir di pojok masjid. Ica bermain di halaman masjid bersama teman-teman barunya. Ibu dan Mbok Jum tersenyum dari rumah sederhana -yang dulu kubilang reyot- samping masjid. Siti sibuk melayani beberapa pembeli di warung, tepatnya di teras rumah ibu.

Air mata mengalir tanpa bisa kubendung. Ya Allah, tobat seperti apa yang harus kulakukan? Kuusap mataku, beranjak ke rak masjid. Mengambil beberapa mukena dan sajadah untuk membawa pulang dan mencucinya.  

Sebuah mobil putih berhenti tepat di halaman masjid. Memang masjid desa sering dijadikan ampiran orang-orang dalam perjalanan ke kota atau sebaliknya. Untuk istirahat ataupun sholat. 

Kakiku melangkah keluar masjid. Di saat bersamaan, sesosok lelaki yang keluar dari mobil itu menaiki tangga masjid. Dengan baju santun dan kopiah hitam sederhana. Melangkah perlahan, ujung mataku tanpa sengaja menghujam matanya. Mulut menganga, peluh kelam menyesakkan dada. Sosok itu, pria yang telah membuatku teronggok menjadi sampah. 

“I… Ira?”
Mulutku merapal sebuah nama. Bergegas menuruni tangga masjid. Menemukannya di rumah Allah adalah keajaiban. Ada apa dengan pertobatan ini?
-ww-

Baca juga:

31 komentar:

  1. Penasaran sama sosok Arjuna. Ceritanya bagus Kak. Aku penasaran gimana kelanjuran hidup Ira. Ga sabar baca lanjutannya

    BalasHapus
  2. Suka dengan kata ini, kematian itu rencana illahi, lalu ada pula uang dan kematian beda tipis di tambah perjuangan bukan dengan cara menjadi sampah.

    BalasHapus
  3. Aduduu..aku ikut tepekur di sudut masjid nih.. Nice story, mba..

    BalasHapus
  4. Masih ada kelanjutannya nggak mbak? Hehehe

    BalasHapus
  5. Mba, yg ketemu di masjid itu siapa? Arjuna kah? Huhuuu penasaran ih

    BalasHapus
  6. Lalu sebenarnya Om Jali itu siapa sih sebenarnya?

    BalasHapus
  7. Ihhh seru abis. Ini bersambung kan ya(?). Saya bookmarked dulu. Kasian banget Sugirah. Moga2 Arjuna itu orang baik. Dia ketemu siapa di masjid?

    BalasHapus
  8. Semoga pertobatan Sugirah dimudahkan. Memang tak mudah keluar dari jaring-jaring dunia malam yang sungguh rumit. Ga jarang dimanfaatkan pihak yang manipulatif demi keuntungan mereka sendiri sementata wanita aeperti Ira hanya diperas dan tak kunjung makmur. Lanjutkan!

    BalasHapus
  9. Hoooo...cerpen dewasa. Aku masih terlalu muda buat membaca cerita seperti ini.

    BalasHapus
  10. Dulu pernah bercita-cita bikin cerpen atau novel. Tapi gak jadi-jadi. Ke sininya lebih sreg numis berdasarkan pengalaman.

    BalasHapus
  11. Sebuah pelajaran penting, semoga kita selalu bisa memetik kebaikan dari apa yang terjadi di sekitar

    BalasHapus
  12. Terpaksa membaca cepat beberapa bagian, berasa belum cukup umur, hehehe. Btw, semoga kita bisa memetik pelajaran dari cerita ini, cerita tentang sebuah pertobatan.

    BalasHapus
  13. Itu kecelakaan yang mengerikan ya, aduduuuh

    Cakep cerita dan plot twist nya, udah biasa bikin fiksi jadi terlihat lentur gini kalimat nya

    BalasHapus
  14. Gak ada niat buat dijadiin novel kak?? Ceritanya bagus. Saya sampai berkali-kali bacanya

    BalasHapus
  15. Aku suka bahasanya penuh kiasan. Meski begitu artinya cukup dalam. Jadi sedih membaca alur ceritanya. Dan masih banyak wanita jalanan yang harus berjuang demi hidupnya meski cara yang ditempuhnya salah. Semoga mereka segera taubat karena jalan yang ditempuhnya benar-benar salah....

    BalasHapus
  16. Hikmah yang bisa kita dapatkan dari cerita ini ya kak, semuanya sudah digariskan Tuhan. Hidup penuh kejutan jadi kudu disiapkan apapun yang bakalan terjadi ya

    BalasHapus
  17. Aduh, kenapa harus terjadi kecelakaan itu sih. Kan jadi sedih ceritanya :(

    BalasHapus
  18. Itu siapa eh yang ketemu dimasjid, penasaran ini. Saya suka bahasa penyampaiannya, enak dibaca

    BalasHapus
  19. Menarik ceritanya, sempet gak nyangka bakal kisah seorang perempuan yang seperti ini, tapi cukup menarik. Penasaran apa yang terjadi dengan Sugirah selanjutnya. Tapi... di beberapa bagian menurutku terlalu cepat ceritanya, seakan mengejar waktu

    BalasHapus
  20. Wah Arjuna ternyata tobat lebih dahulu. Emosiku teraduk2 baca cerita ini. Apalagi kasusnya ttg perempuan yg dilecehkan. Itu menyakitkan.

    BalasHapus
  21. Aku kaget, kirain Ica yang tertabrak. Ternyata Bunga
    Menarik ceritanya mbak. Pilihan diksinya keren
    Lanjutin dong jadi cerbung. Penasaran deh aku

    BalasHapus
  22. Plot twist nya mantap..
    Btw keren bgt bisa nulis fiksi semengalir ini...
    Enak dibacanya

    BalasHapus
  23. Membaca artikel ini seolah-olah aku berada di dalam kisahnya, tapi ini kisah nyata atau nggak yaa? Aku penasaran kelanjutan kisahnya seperti apa.

    BalasHapus
  24. Waah itu kangmas arjuna ya yang berpapasan di masjid? Akankah kmai temukan lanjutannya?

    BalasHapus
  25. Cerita bersambung kaak gini emang bikin penasaran. Aku penasaran sama kelanjutannya.

    BalasHapus
  26. Keren banget cerpennya, bisa mengaduk-aduk perasaanku. Marah, emosi, dan akhirnya aku meneteskan air mata saat sugirah bertaubat.
    bahasanya mengalir dan bikin aku baca sampai habis

    BalasHapus
  27. Hm.. menarik. Aku jadi penasaran gimana kelanjutan cerita si Arjuna dan Ira ini. Lanjutin dong kak

    BalasHapus
  28. Bagus, seruuuu diksi bagus Wah ini harusnya masuk Koran atau majalah mbak Wid,

    Kalau boleh saran 1 postingan jangan kebanyakan mbak jdi biar tetep senapsaran sama cerita selanjutnya gitu, biar nggak begitu lier bacanya hehehe. Tapi jago ini cerpennya

    BalasHapus
  29. Kubaca tanpa skip dan jeda. Apa ada kelanjutannya? Tapi kalau cerpen sepertinya sudah selesai nih

    BalasHapus
  30. jdi penasaran setelah pertobatan sosok pria itu mb. sepertinya ending dari cerita ini susah ditebak, baca alur dari awal sampai akhir aja byk hal-hal tak terduga. hi

    BalasHapus
  31. Menarik ceritanya mbak, walau cerita ini sepertinya kurang cocok untuk seusia saya... Jadi penasaran Om Jali itu siapa ya?

    BalasHapus