Jumat, 31 Desember 2021

Literasi Viral Media Sosial, Pemersatu Tiada Tanding

Terkadang, ke-viral-lan postingan media sosial menjadi pemersatu tanpa tanding. Baru-baru ini, semua berita yang sedang populer mendadak hilang terganti dengan Piala AFF nan luar biasa. Meskipun di final leg 1, Timnas mesti mengakui keunggulan sang rival, Thailand 4 – 0!



Media sosial, bagiku adalah pembelajaran literasi tanpa batas, maju bahkan mundur.  Ah, apa maksudnya?

 

Yang Sedang Viral

Ada 1001 maksud dalam paragraf di awal tulisan ini. Orang mampu menulis apa saja di media sosial. Baik keluhan, curhatan, bullying bahkan rahasia yang tersimpan rapi selama bertahun-tahun. Yang diam, dapat bersuara, dengan untaian kata, dengan tagar tertentu.

Di FB, mbak kae akhirnya minta maaf karena sudah komen dengan bahasa kurang santun dan menyakiti hati seseorang. Ada lagi kisah layangan hingga Cappadocia, masih di list utama.

Mau sesuatu yang sedikit berbeda, dapat tengok Instagram, ada pemersatu dengan postingan indah memanjakan mata. Tagar-tagar kemanusiaan dapat ditemui di Twitter, beberapa di antaranya berakhir viral.

Banyak hal positif (dan negatif) tersalurkan melalui media sosial. Berani mengungkap fakta yang kadang, hanya jadi angan bagi beberapa orang yang terjepit problematika kehidupan.

 

Literasi, Media Sosial, JNE dan Aku

Sebagai freelance yang menggantungkan raket eh cuan di media sosial, dari sinilah aku mulai berjualan. Cara berjualan online orang desa versiku. Menjajakan caption, mengobrak-abrik tulisan (ujungnya) promosi dan meramu kepingan video agar jadi kesatuan utuh.



JNE menjadi saksi banyak hal dalam hubunganku dengan literasi. Contoh mudahnya aku dapat job review suatu produk yang bakal dikirim ke alamatku. JNE yang mengusung ‘Connecting Happiness’ benar-benar tercipta. Apalagi dengan seruan khas di bawah ini.

“Pakettt!!!”

Aku tergopoh keluar.

“Buat?”

“Mbak Wahyu Widya…,”

“Ahai, saya sendiri.”

Kurir tersenyum santuy, menggelontorkan dua bingkisan sekaligus.

“Buat saya semua?” tanyaku heran.

“Iya.”

“Wah, makasih,” jawabku tersenyum senang.

“Sama-sama,” pamitnya undur diri.

Segera masuk ke dalam, cek dulu, musti unboxing tidak, ya? Kalau tidak langsung saja buka. Tralala, yang satu paket produk untuk review. Paket satunya lagi berisi majalah sebagai bukti terbit saat kemarin artikelku dimuat di media. Alhamdulillah.

Literasi memang sesuatu yang menyenangkan, mengantarkan kebahagiaan tanpa batas. Literasi memang asyik, mereview suatu produk di Instagram, dapat cuan. Artikel tayang di media, dapat cuan, gimana literasi nggak asyik?

Pertanyaan menohok yang sering muncul adalah, apakah literasimu (hanya) karena cuan?

 

Literasi dan Ceritaku

            “Mbaknya kerja dimana to?” tanya seorang ibu sesama penunggu si kecil di halaman TK. Setelah obrolan tentang emak-emak ngumpul yang kadang bikin suasana kurang nyaman.

            “IRT,” jawabku singkat.

            “Bukankah sarjana, lulusan kono kae?” tanyanya dengan nada menginterogasi.

            “Memangnya kenapa?”

            “Sayang kan sarjana nggak kerja.” Bla bla bla, nyinyir…

Auooo, rasanya pingin ngunyah boto alias batu bata atau lemparin guling? Gulingnya di rumah, haha. Untung rapalan doa komat kamit masih kudengungkan perlahan. Menyakitkan, iya, menusuk kalbu? Sangat! Titik kemunduran dalam hidup yang kuingat sampai detik ini.

DARI SINILAH AKU MULAI BERGERILYA!

Awal berliterasi bagiku adalah hobi yang sempat mati suri. Hanya karena hobi (dan nyinyiran), tak lebih. Sepenggal percakapan di atas membuatku mulai giat menulis. Terlintas memilih ngantor lagi, tapi rasanya tak mungkin karena aku tak tega meninggalkan si kecil.



Literasi menjadi pilihan, termasuk menulis curhatan emak-emak yang ngurusin urusan orang lain saat menunggu si kecil pulang sekolah. Kenapa curhatan? Karena melegakan, ujungnya membahagiakan. Walau, tulisan tersebut hanya tersimpan di laptop (saat itu).

Seperti kata Kang Maman, ‘Menulislah dengan Bahagia, maka tulisanmupun akan membahagiakan’.

Jadi, aku benar-benar menikmati kata bahagia dan membahagiakan karena mengalami sendiri. Ketika dipandang sebelah mata karena nganggur lalu mulai menggeliat dengan literasi.

Akhirnya nyinyiran dan ubo rampenya kujadikan kisah. Sebagian kutulis di artikel dan caption yang membersamaiku untuk menelurkannya menjadi sebuah tulisan di media. Baik itu media sosial, media online ataupun offline.

Kalau dibilang hanya karena cuan, tidak! Jika akhirnya ada cuan yang mengikuti, itulah proses.

 

Literasi Media Sosial, Versiku

Media sosial mampu menciptakan banyak hal kehidupan serta kebahagiaan. Termasuk pemersatu bangsa di saat populer sebuah kisah, tagar dan sesuatu yang di share, diberitakan secara terus menerus. Menggaungkan literasi di sana, memberi keasyikan tersendiri.



Walau tulisanku belum pernah viral tsahhh, media sosial memiliki banyak arti penting versiku. Dari sana, recehan-recehan terkumpul untuk mengepulkan dapur. Walau harga minyak goreng masih di kisaran 40 ribu, gas besar 175 ribu, telur 34 ribu/kg dan cabai 5 ribu dapat 20 biji. Apa hubungannya? Wkwkwk…Karena (katanya) tulislah yang ada di sekeliling dan sekitarmu.

Jadi ingat postingan Pak Floribertus Rahardi di FB (30/12/2021) menulis, naik gunung, tinju, badminton, sepak bola semua bukan untuk mengalahkan lawan. Semangat mengalahkan lawan hanya menjadi beban, karena perang terbesar adalah melawan diri sendiri.

Semangat mengalahkan nyinyiran emak-emak reseh tak ada gunanya lagi. Lebih baik mengalahkan kemalasan diri sendiri untuk lebih maju dengan asyiknya berliterasi. Dari literasi berita tercipta, caption tertulis, promosi produk lanjut sehingga meningkatkan penjualan.

Literasi viral, bisa jadi pemersatu bangsa tiada tanding. Bagaimana nggak asyik kalau menulis menciptakan hal-hal lain yang membahagiakan?


1 komentar: