Kamis, 15 Juni 2023

Sepersekian Detik Part 2

Sepersekian Detik

Part 2

 

“Bapakmu yang mberesin ini,” ujarmu sambil menarik celana jeans di kaki kanan sampai ke lutut. Aku melongo. Ada luka menghitam di sana dan ada bagian sedikit cekung.

“Dulu, aku ki ba**ngan,” sambungnya lalu menurunkan celana seperti semula. Kuhela nafas beberapa kali ketika luka tembak itu seperti rol film yang diceritakan padaku.



Kali lain, pria dengan tinggi lebih dari 174 cm itu juga menanyakan kesendirianku, dengan nada kikuk. Selanjutnya, mengamati jemariku dengan detail.

“Kok kukumu panjang?”

“Kenapa emangnya?”

“Ya, nggak ubahnya cowok, biasanya sih kalau panjang jadinya hmm… hmmm,” jawabnya tidak jelas.

“Nopo to?”

Kulihat jemariku, jempol, telunjuk dan jari tengahku memang berkuku agak panjang. Salah?

Sudut bibir pria itu melengkung ke atas, tersenyum tak yakin dengan ketidaktahuanku lalu menggelengkan kepala.

“Masa nggak mudeng?”

“Emang aku nggak mudeng.”

“Yo wes.”

Mataku membola sempurna, aneh!

Dan akhirnya aku baru tahu tentang kuku panjang itu, setelah kupikir-pikir dengan seksama dan kurangkum menjadi suatu kesimpulan jitu. Versiku sendiri.

_www_

Kumatikan rokok di asbak dengan kasar. Gila, kenangan itu muncul begitu saja merayapi kegundahanku. Kulihat HP, pukul 2 siang, tak ada balasan darinya. Yang ada hanya chat grup dan aku sama sekali tak berniat menengoknya.

Hanya di namamu -yang ku save dengan nama aneh itu- aku cek sampai hampir ratusan kali, hari ini.

[Pingin apa, ntar kubawain sisan]

[Neng biasane ya]

Dua chat yang kukirim terakhir centang 2 biru, barusan, tapi dibalaspun tidak. Settingan WA membuatku tak tahu kamu sedang online atau tidak kecuali sedang mengetik. Ah, segitunya caramu membuatku sampai lelah putus asa seperti ini.

Hari ini, aku ingin bertemu, setelah 4 bulan tak zonk. Meskipun, dua kali aku melihatmu tanpa sengaja di jalan dan di tempat pesta. Berantakan, tak terurus dan bad…

Sekali lagi, aku  menghela nafas, sangat panjang. Mengedarkan pandangan ke tempat indah ini. Katanya tempat favoritmu, yang akhirnya menjadi tempat favoritku juga.

Dari lantai dua, sepanjang mata memandang adalah gugusan beberapa gunung, indahnya tak terkatakan.

Seberang lain, terasiring dengan sawah menghampar luas, jalan baru dibetonisasi dan nyiur melambai yang sampai aku hafal berapa jumlahnya!

Habis dzuhur tadi, kudatangi tempat ini. Setelah memarkir kendaraan di bawah tangga, di samping tembok gedung. Lalu naik ke lantai dua dengan senyuman. Biasanya juga seperti itu meski jantung berdegup tak karuan.

Untuk sampai ke tempat yang kupesan, melewati pagar berbahan besi dengan ukiran sangat khas. Untunglah mendapatkan meja di pojok, tempat favoritmu. Meja bulat coklat kayu dan dua kursi yang menyapa, hening.

Teh pesanan sebentar kemudian datang. Menunggu, menunggu dan menunggu. Akhirnya habis tanpa sisa, makanan tak tersentuh sedikitpun. Nyatanya sampai 4 jam tak ada satupun pesan masuk, darimu.

[Tatunggu or nggak mau?] Kuketik pesan sekaligus menahan diri.

Kupikir aku akan menelponmu, atau video call, agar kamu tahu aku benar-benar di tempat biasanya. Nyatanya, aku tak punya cukup nyali untuk itu.

Harusnya hari ini menjadi harimu bukan? Kuharap begitu juga seperti pesan tengah malam itu. Kuharap? Ah, itu hanya pikiranku saja. Aku tersenyum, getir. Merutuki kebodohanku.

Senja menjelang, dingin menyergap. Lelah, berdiri menatap jendela tempat dulu, kamu pernah melukis dua wajah di sana.

[Lagi dimana?]

Pesanku, yang baru sepersekian detik terkirim, lalu kuhapus.

 


Baca juga:

Sepersekian Detik Part 1

Takluk

Pertobatan Sugirah

#Sepersekiandetik

*Sening pahing


0 komentar:

Posting Komentar